Saturday, February 14, 2009

Dari Sebuah Desa Kecil di Ujung Teluk Kendari

Labuan Peropa, medio September 2004

Di warna langit yang tidak menentu, dan matahari yang menyembul malu di balik awan, perahu kecil membelah laut pagi yang tenang. Ada rasa riang yang menggelegak, juga ketakutan berada dihamparan laut yang seolah tak berbatas. Begitu tak berarti diri jika laut bergolak dan siap menerjang apa saja di atasnya.
Teringat sebait lagu yang popular pada masa kecil “nenek moyangku seorang pelaut…”
Bukan.. bahkan kakekku pun mantan seorang pelaut ulung.

Meski begitu hati justru miris membayangkannya, karena walaupun gembira, tak urung rasa gentar menyelusup ke hati. Terlebih pada kenyataan bahwa aku, yang dibesarkan di daerah yang tak jauh dari pantai, yang selalu menemukan kegembiraan masa kecil ketika bermain di pantai, tidak bisa berenang!

Dari kejauhan desa kecil itu tampak begitu sederhana, indah dalam kesederhanaannya. Sejauh mata memandang laut tampak begitu jernih membuat hati bertanya-tanya. Sungguh masyarakat desa yang nota bene sangat sederhana dan konon kurang berpendidikan ini pandai menjaga kebersihan lingkungannya. Teringat pada keadaan di kotaku, kota kecil dengan masyarakat yang justru jauh lebih berpendidikan, sampah-sampah masih menghias sudut kota. Bahkan laut yang dulu tempat kami bermain menghabiskan saat-saat masa kecil, pun tak luput dari buangan sampah.

Kembali ke desa kecil itu lagi.
Orang-orang desa selalu ramah menyambut tamunya. Menjelaskan apa saja untuk memuaskan keingintahuan setiap tamu yang datang. Disamping ingin memuaskan rasa penasarannya sendiri. Seperti itulah karakter mereka. Sebuah keramahan khas yang bisa ditemui dimana saja di bumi pertiwi ini.

Anak-anak berkerumun sambil berbisik-bisik. Orang-orang tua dan muda ikut bergabung di keramain. Gadis-gadis remaja pun keluar atau berdiri di pintu rumahnya, masih berbalut dengan bedak dingin, campuran tepung beras, kunyit dan mungkin sedikit daun bakau. Kutatap dengan takjub, terakhir kali aku dan teman-teman membuat dan memakai bedak dingin seperti itu pada masa kanak-kanak belasan tahun yang lalu.

Masuk ke dalam perkampungan meninggalkan cerita tersendiri. Kehidupan yang bersahaja sungguh menggugah. Betapa tidak? Di wajah-wajah itu hanya tampak senyum dan keramahan. Sepertinya mereka memang bahagia tinggal ditempat yang jauh dari mana-mana ini. Butuh waktu sejam lebih untuk mencapainya dengan perahu bermotor, itupun hanya beberapa kali seminggu. Sebagian diantara masyarakat bahkan ada yang belum pernah keluar dari desanya sejak pertama kali generasi pertama datang dari Pulau Buton dan Muna berpuluh tahun yang lalu.

“Ada banyak turis yang sering kemari,” kata salah seorang diantaranya. Saat ini saja ada 3 orang jepang dan ada 13 penyelam yang dipimpin seorang dari Australia.
Perairan disekitar Labuan Peropa memang memukau, tak jauh dari lokasi wisata Pulau Hari dengan taman lautnya yang indah.

Keriangan anak-anak yang bermain menitikkan haru. Anak-anak yang smestinya bersekolah terpaksa mengubur angan-angan itu. Satu-satunya sekolah hanya bisa dicapai lewat laut menuju desa lainnya yang terpisah dengan tebing terjal. Sekolah yang terpaksa diliburkan jika musim ombak besar tiba. Sekolah yang hanya mempunya seorang guru yang merangkap sebagai kepala sekolah. Bahkan lebih sering libur lagi, karena ada kalanya anak-anak ke sekolah tanpa menemukan siapa-siapa disana, atau sebaliknya, sang guru terpaksa menunggu murid-muridnya berjam-jam tanpa hasil.. Disaat anak-anak lain sebaya mereka sudah pandai menggunakan computer dan belajar bahasa asing, sebagian besar anak-anak ini masih harus belajar membaca, menulis dan berhitung.
Entah akan menjadi apa mereka kelak 20 atau 30 tahun lagi. Akankah mereka keluar dari kungkungan keterasingan dan keterbelakangan, ataukah tetap di desa ini melanjutkan usaha orang tua mereka sebagai petani kopra ataupun nelayan?

Menengok kebelakang ketika akan kembali membuatku tak henti bersyukur. Aku punya kehidupan yang lebih baik dari mereka, yakinku. Sekalipun begitu, kebahagiaan yang aku rasakan takkan berbeda dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.
Kebahagiaan tetaplah kebahagiaan, dimanapun dan dengan cara apapun dia datang. Karena kebahagiaan bukan hanya milik orang-orang tertentu yang kebetulan mempunya kehidupan yang lebih baik dari sudut pandang keduniawian, tapi milik mereka yang mensyukuri apa yang dimilikinya, dimanapun dia berada, apapun kondisinya. Bahkan tak jarang hidup dalam kebersahajaan justru lebih menimbulkan ketentraman.
Segala puji bagi Rabb semesta alam, yang tak henti mengucurkan nikmatNya dan melapangkan dada hambaNya.

No comments:

Post a Comment